twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Malaria & Peran Masyarakat

Malaria masih menjadi masalah serius di Indonesia. Bagaimanakah masyarakat berperan dalam kondisi ini? Mampukah mereka menyelesaikan masalah ini?

Antara tahun 1998–1999, kejadian luar biasa (KLB) malaria pernah terjadi di 62 desa di Indonesia. Di daerah Jawa, kawasan endemis berada di daerah sepanjang pantai selatan dengan kantung-kantung utama di Ciamis, Banten, dan Serang. Demikian juga di Sulawesi, kawasan endemik umumnya juga berada di daerah sepanjang pantai. Penelantaran bekas tambak dan pembabatan hutan bakau, adalah penyebab utama terjadinya KLB di daerah itu.

Pada tahun 2001 kejadian luar biasa malaria terjadi di kepulauan Seribu, tepatnya di pulau Tidung dan Pari. Dari pengamatan lebih lanjut, diketahui bahwa masyarakat banyak yang merendam rumput laut di sumur-sumur air tawar. Bekas rendaman itulah yang menjadi tempat yang ideal sebagai perkembangbiakan nyamuk.

Di daerah Lampung Selatan juga ditemui fenomena yang sama. Banyaknya lahan tambak yang terbengkelai telah menjadi sarang nyamuk jenis anophles sundaicus, salah satu vektor malaria yang memang banyak ditemukan di pantai daerah itu.

Daerah Banjarnegara juga pernah menjadi daerah rawan malaria sejak hutan-hutan di sekitarnya telah berubah menjadi sawah tadah hujan dan perkebunan salak. Perubahan fungsi lahan tersebut telah membuat nyamuk anopheles balabacencis yang tadinya berada di hutan akhirnya mencari habitat baru di perkebunan salak yang lokasinya dekat dengan pemukiman penduduk. Tidak hanya itu, hutan-hutan yang semakin habis tadi juga menyebabkan monyet-monyet hutan turun ke perkebunan dan menjadi hama tanaman salak. Akhirnya, monyet pun menjadi musuh penduduk dan dibasmi. Tetapi akibatnya, nyamuk yang tadinya menghisap darah monyet (zoofili: nyamuk yang suka menggigit binatang), sekarang beralih menghisap darah manusia (antropofili).

Survei yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan (Balitbangkes) tahun 2002 menyebutkan bahwa resistensi kasus malaria terhadap obat Chloroquin ditemukan di 27 propinsi di Indonesia. Kepatuhan minum obat adalah faktor penting yang menyebabkan resistensi. Resistensi parasit p.falciparum terhadap Chloroquin dikhawatirkan menimbulkan kejadian luar biasa dan akan menyebar ke daerah lain. Penyebaran itu hanya menunggu waktu saja, kerena anopheles akan menyebarkan parasit yang resisten ke orang lain.

Pada tahun 2006 kejadian luar biasa terjadi di dusun Pegantungan, Air Gantung, Jebus, Kabupaten Bangka Barat, enam belas orang telah meninggal dunia. Setelah dilakukan investigasi lapangan, diketahui sumber penularannya berasal dari warga yang pindah dari desa Bintet, Belinyu, Kabupaten Bangka yang merupakan wilayah KLB pada tahun 2005. Di daerah ini, Dinas Kesehatan Kepulauan Bangka Belitung telah menyalurkan 257.898 kelambu untuk enam Kabupaten/Kota. Namun dalam praktiknya, kelambu itu tidak banyak digunakan. Di sekitar tempat ini pula banyak terdapat bekas galian tambang timah yang akan membentuk genangan air pada musim hujan dan menjadi habitat nyamuk anopheles.

Opini

Secara epidemiologis, penyakit malaria diyakini merupakan penyakit ekologis yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik dan geografis, selain faktor-faktor lain yaitu: parasit itu sendiri (plasmodium), nyamuk (vektor/penular), dan kondisi fisik-manusia (host).

Indonesia sendiri bisa dibilang memang menjadi tampat yang ’diciptakan’ menjadi habitat vektor malaria. Indonesia yang berada antara garis bujur 60o di utara dan 40o di selatan, memang sangat menguntungkan untuk terjadinya transmisi Malaria. Gampangnya, Indonesia memang punya ’bakat’ sebagai daerah Malaria.

Faktor lingkungan fisik dan georafis boleh jadi memang menjadi faktor penting, karena bagaimanapun juga akan memberi kesempatan vektor untuk selalu ada, dan karena ini pula sering kali faktor lingkungan dianggap sebagai faktor yang paling sulit dikendalikan. Di daerah endemik, vektor/nyamuk juga berperan dominan dalam kasus ini. Lalu, apa yang dapat kita lakukan dengan kondisi ini?

Dari sejumlah contoh kasus malaria di atas, kita bisa melihat bahwa perilaku/kebiasaan masyarakat seperti: penelantaran tambak/bekas galian tambang, pembabatan hutan, merendam rumput laut di tempat yang salah, tidak memakai kelambu, dan ketidakpatuhan minum obat, telah memicu timbulnya kasus ini.

Perilaku/kebiasaan terbentuk dari adanya sikap, sedangkan sikap itu sendiri umumnya terbentuk setelah seseorang mendapatkan pengetahuan yang cukup. Sedangkan cara pemahaman sesorang terhadap pengetahuan, berbeda satu dengan yang lain. Merubah perilaku/kebiasaan tentu bukanlah hal yang mudah, apalagi merubah perilaku masyarakat.

Di desa Tuakole-Kecamatan Batu Putih, dan dusun Haumeto di wilayah Amanuban Selatan, Kab.TTS, Propinsi Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2002 terjadi KLB malaria. Tidak lama setelah KLB ini tertangani, anak-anak murid Sekolah Dasar setempat diminta untuk mengumpulkan jentik nyamuk, mereka diminta untuk memelihara jentik dalam botol. Beberapa hari kemudian, anak-anak tadi diminta menunjukkan jentik yang telah mereka pelihara kepada penduduk desa dalam sebuah kesempatan pertemuan warga. Dari pertemuan ini barulah mereka menyadari bahwa jentik yang selama ini sering mereka temui di genangan air sekitar rumah, dapat menjadi nyamuk yang dapat menularkan malaria. Sejak saat itu, hampir tidak pernah ditemui lagi kubangan air di sekitar rumah warga, dan peluang terjadinya KLB di desa itu tentunya akan berkurang.

Apa yang pernah dilakukan di desa Tuakole dan dusun Haumeto adalah contoh bahwa: (a.) masyarakat perlu dilibatkan sebab di sanalah permasalahan itu berada, (b.) masyarakat desa mempunyai cara pemahaman yang unik dan lokal spesifik, memberikan informasi samata belum tentu sesuai dengan cara mereka memahami sesuatu, dan (c.) masyarakat ternyata mempunyai potensi untuk tidak hanya dipandang sebagai penyumbang angka KLB, AMI/API saja, tetapi sebagai kelompok individu yang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.